Sunday, 5 January 2014

Lost in Sulawesi - Day 2: Toraja, the Land of Deads (Part 2)

Dari post sebelumnya:
Gue, Dara, dan Dana terbang ke Makassar dan langsung pergi ke Tana Toraja. Kami bermalam di rumah teman gue, Anggi, yang asli orang Toraja. Pagi ini kami pergi ke lokasi pemakaman pertama di Rante Lemo.

Menjelang siang, perjalanan kami lanjutkan ke Londa, di mana orang daerah tersebut memakamkan keluarganya di gua yang terletak di sana.

Kerbau aduan di pintu masuk Londa

Kami menyewa sebuah lampu gas seharga Rp30,000 untuk membantu penerangan selama berada di dalam gua, serta seorang pemandu (dengan bayaran seikhlasnya yang biasanya, katanya, sebesar Rp20,000). Menurut pemandu tersebut, makam di Londa ini khusus diperuntukkan bagi anggota marga Tolengke.

Gua tempat jenazah diletakkan terbentuk secara alami di dinding sebuah tebing. Menurut sang pemandu, yang juga merupakan anggota marga Tolengke, di tebing tersebut sebenarnya terdapat tiga gua alami, yaitu gua untuk makam masyarakat biasa yang terletak paling bawah dan terbuka untuk umum, gua untuk makam masyarakat kelas menengah yang terletak di atas gue sebelumnya, serta gue untuk makam para bangsawan yang terletak di puncak tebing.

Om Anggi yang mengantar kami ke sana juga cerita kalo makam gua di Londa pernah digunakan sebagai tempat uji nyali di acara Uka-uka. Seorang sopir angkutan Makale-Rantepao sendirian bermalam di dalam gua dan dipantau aktivitasnya melalui kamera infra merah. Katanya tidak ada kejadian aneh-aneh sepanjang acara tersebut, dan ini memberi gue keberanian tambahan sebelum masuk ke gua hehehhehe.

Gambar-gambar di Londa dapat dilihat di bawah ini.

Gerbang menuju lokasi pemakaman di Londa.

Pemandangan setelah melewati gerbang lokasi pemakaman.  Gua terdapat di tebing.
Bagian depan pemakaman.
Pintu masuk menuju gua.
Suasanan dinding dan langit-langit gua. Tampak tengkorak di dalam celah.

Salah satu peti di dalam gua. Pengunjung biasa memberikan uang receh atau rokok kepada jenazah.
Tampak tengkorak jenazah berwarna hitam di dalam peti. Tandanya umur jenazah ini belum terlalu lama.

Peti-peti mati baru.
Suasana di dalam gua.

Tengkorak di antara peti mati yang telah hancur.
Menurut kepercayaan, pemindahan tulang ke peti baru harus dilakukan melalui prosesi upacara.

Peti mati yang berumur ratusan tahun.
Tengkorak dan tulang-tulang yang berserakan ditata rapi.

Bagian depan pemakaman. Tampak boneka-boneka para bangsawan di belakang.
Keranda mayat.

Setelah Londa, tujuan kami selanjutnya adalah desa adat Ke'te'kesu, tempat di mana tongkonan-tongkonan tertua di Toraja berada. Katanya umur tongkonan tersebut sudah mencapai ratusan tahun. Tongkonan-tongkonan di Ke'te'kesu berbaris dan saling berhadapan, dengan tongkonan yang besar sebagai rumah dan tongkonan di hadapannya sebagai lumbung padi. Saat ini Tongkonan itu tidak lagi difungsikan sebagai rumah atau lumbung, melainkan hanya sebagai tempat wisata. 

Di bagian belakang terdapat tebing dan masyarakat sekitar menjadikannya sebagai kuburan batu. Ketika pertama kali mendatangi kuburan batu di Rante Lemo, jujur gue agak ketakutan. Tapi setelah masuk ke kuburan gua, waktu keluyuran di tebing di Ke'te'kesu sudah gak ketakutan lagi hehehhehe.

Di sini kita bisa melihat Pa'tane, sebuah bangunan seperti rumah yang sebenarnya adalah sebuah makam. Kita bisa melihat siapa yang dimakamkan di sana karena di depan setiap bangunan terdapat foto yang menandakan siapa 'penghuni' bangunan tersebut.

Gambar-gambar di Ke'te;kesu dapat dilihat di bawah ini.

Tongkonan di Ke'te'kesu. Tongkonan ini berukuran kecil kemungkinan berfungsi sebagai pos penjagaan.
Tongkonan di sebelah kiri gambar dulu berfungsi sebagai lumbung.
Tongkonan di sebelah kanan gambar dulu berfungsi sebagai rumah.
Tongkonan lumbung. Tiang kayunya terbuat dari kayu utuh yang sangat kokoh.
Bagian bawah digunakan sebagai tempat bersantai.

Tongkonan rumah. Bagian bawah digunakan sebagai kandang kerbau.
Kami selesai mengunjungi ketiga tempat wisata tersebut di sore hari. Setelah istirahat sejenak di rumah Anggi, kami main-main ke alun-alun Makale. Tempat ini sangat dekat dengan rumah Anggi, kami hanya perlu berjalan kaki ke sana. Di sore hari, banyak remaja yang berolahraga mengelilingi danau di seputaran alun-alun.

Alun-alun Makale. Tampak di kanan belakan patung pahlawan Lakipadada.
Perjalanan kami di Toraja berakhir hari ini. Jam 10 malam kami akan kembali ke Makassar menggunakan Bus Bintang Prima. Harga bus ini agak lebih mahal daripada yang sebelumnya, yaitu Rp140.000. Meskipun begitu fasilitasnya lebih baik, dengan selimut tebal, bantal, dan dudukan yang nyaman.


1 comment: